Senin, 18 Juli 2016

Kebudayaan 5 Suku Di Pulau Kalimantan



A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia negara yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dalam setiap suku bangsa terdapat kebudayaan yang berbeda-beda. Selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki norma social dan aturan adat yang mengikat masyarakat di dalamnya agar taat dan melakukan segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki norma-norma sosial yang berbeda-beda. Perbedaan dalam suku bangsa dan budaya menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang unik. Untuk menuju integritas nasional yaitu keseimbangan antar suku bangsa diperlukan toleransi antar masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah:
1.      Apa adat dan budaya masyarakat Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan?
2.      Bagaimana kehidupan suku dayak di Kalimatan Tengah?
3.      Bagaimana upacara adat masyarakat Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara?

C.    Tujuan penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1.      Mengetahui budaya masyrakat Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
2.      Mengetahuibagaimana kehidupan suku dayak di Kalimantan Tengah.
3.      Mengetahui upacara adat masyarakat Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kebudayaan Suku Melayu Kalimantan Barat
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Salah satu suku terbesar di Kalimantan Barat adalah suku melayu. Ada suku bangsa Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Mempawah, Melayu Sanggau, Melayu Sintang, Melayu Ketapang dan Melayu Kapuas Hulu. Melayu di Kalimantan Barat identik dengan Islam, rumah-rumah suku Melayu yang ada di sepanjang sungai Kapuas menunjukan ciri khas ke-Islaman yang sangat kuat tradisi arsitektur bergaya tradisional Melayu, Eropa dan Arab mewarnai aksesoris yang melekat di dalamnya seperti kesultanan Pontianak. Istana Kadriah merupakan sebuah bangunan yang mencirikan reprentasi dari gaya tersebut, berkolaborasi ciri dayak, melayu, bugis dan china yang mengambarkan multicultural masyarakat sebagai sebuah symbol peradaban yang sangat menghargai sesamanya.  Secara umum, masyarakat Melayu mempunyai lima falsafah dan berlandaskan lima dasar yaitu: Melayu itu Islam, yang sifatnya universal, demokratis dan bermusyawarah. Melayu itu budaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain-lain. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan dalam Bhinneka Tunggal Ika). Melayu itu berturai, yang tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib, mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan agama dan mistik, agar bermarwah dan disegani orang untuk kebaikan umum.
Masyarakat melayu Kalimantan barat memiliki beberapa upacara adat atau tradisi budaya mereka secara turun-temurun yaitu :

Tradisi Robo-Robo
Robo-robo berasal dari kata Robo atau Rabu. Tradisi Robo-Robo diadakan pada Rabu terakhir bulan Sapar (Hijriah) yang menyimbolkan keberkahan. Menurut cerita, ritus ini merupakan peringatan atau napak tilas kedatangan Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan (Martapura) ke Kerajaan Mempawah (Pontianak). Robo-robo itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu peringatan serangkaian kejadian penting bermula Haulan pada hari Senin malam Selasa terakhir bulan Syafar guna mengenang hari wafatnya Opu Daeng Manambun. Bagi warga keturunan Bugis di Kalbar, robo-robo biasanya diperingati dengan makan bersama keluarga.
Tepung Tawar
Upacara tradisi tepung tawar ini yang pada jaman dahulu seperti menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat yang melaksanakan sebuah upacara-upacara baik upacara di dalam kehidupan rumah tangga maupun upacara bagi masyarakat pada umumnya. Upacara tradisi Tepung Tawar umumnya bayak dilakukan oleh masyarakat Melayu dan Suku Dayak akan tetapi pada masyarakat Melayu upacara tepung tawar yang dikenal pada umumnya ada empat jenis yakni Tepung Tawar Badan, Tepung Tawar Mayit, Tepung Tawar Peralatan serta Tepung tawar Rumah. Dari empat jenis Tepung Tawar tersebut masing-masing mempunyai perbedaan baik yang menyangkut peralatan maupun bahan-bahan yang dipergunakan.
Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.

B.     Kebudayaan Suku Banjar Kalimantan Selatan
Suku bangsa Banjar ialah penduduk asli yang mendiami sebagian besar wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Suku Banjar berasal dari orang Melayu Sumatera, Kalimantan dan Jawa yang datang ke Kalimantan Selatan untuk berdagang. Adat, bahasa dan kepercayaan mereka adalah akibat pengaruh berabad-abad dari orang Dayak, Melayu dan Jawa. Orang Banjar dapat dibagi dua dari segi dialek bahasa, yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Mereka juga terkenal dengan julukan masyarakat air (the weter people) karena adanya pasar terapung, tempat perdagangan hasil bumi dan kebutuhan hidup sehari-hari di sungai-sungai kota Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan. Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak hubungannya dengan sungai, rawa dan danau, disamping pegunungan. Hampir segenap kehidupan mereka serba relegius. Disamping itu, masyarakatnya juga agraris, pedagang dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih tradisional. Ikatan kekerabatan mulai longgar dibanding dengan masa yang lalu, orientasi kehidupan kekerabatan lebih mengarah kepada intelektual dan keagamaan. Urang Banjar mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material budaya yang berkaitan dengan religi, melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan asimilasi. Sehingga nampak terjadinya pembauran dalam aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh Islam lebih dominan dalam kehidupan budaya banjar hampir identik dengan Islam, terutama sekali dengan pandangan yang berkaitan dengan ke Tuhanan (Tauhid). Meskipun dalam kehidupan sehari-hari masih ada unsur budaya asal, Hindu dan Budha.
Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 kelompok besar  yaitu :
Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus yang berbahasa Melayu (unsur Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok).
Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok).
Grup Banjar Kuala adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung Melayu, orang Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai ciri kelompok).
Masyarakat suku banjar juga memiliki beberapa kebudayaan lainnya, seperti :
Mahidin
Madihin berasal dari kata madah dalam bahasa arab artinya nasihahat. Madihin dapat diartikan sebagai sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia, karena ia nenyanyikan syair-syair yang berasal dari kata akhir persamaan bunyi atau sebagai kalimat puji-pujian ( bahasa arab) karena bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadang kala berupa puji-pujian.  Kesenian madihin pada umumnya dipergelarkan pada malam hari, lamanya sekitar 2 sampai 3 jam ditempatkan diarena terbuka. Seniman pamadihin ini terdiri dari 1 samapai 4 orang pria atau wanita. Seorang pamadihin harus memiliki keterampilan memukul terbang sesuai dengan penyajian syair-syair yang dibacakan, madihin ini temanya saling sindir menyindir antara pamadihinnya.
Pasar Terapung
Pasar terapung ini sudah ada lebih dari 400 tahun lalu dan merupakan sebuah bukti aktivitas jual-beli manusia yang hidup di atas air. Seperti halnya pasar-pasar yang ada di daratan, di pasar terapung ini juga dilakukan transaksi jual beli barang seperti sayur-mayur, buah-buahan, segala jenis ikan, dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Salah satu keunikan dari Pasar Terapung adalah desak-desakan antara perahu besar dan perahu kecil yang mencari pembeli, serta penjual yang bersliweran kesana kemari dan kapalnya yang dimainkan gelombang Sungai Barito.
Bayaun Maulid
Baayun asal katanya “ayun” yang diartikan”melakukan proses ayunan”. Asal kata maulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Baayun anak adalah salah satu tradisi simbol pertemuan antara tradisi dan pertemuan agama. Inilah dialektika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya.
C.    Kebudayaan Suku Dayak Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan Suku Dayak sebagai penduduk aslinya kaya dengan keanekaragaman seni dan budaya peninggalan masa lalu. Suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas Dayak Hulu dan Dayak Hilir. Dayak Hulu terdiri atas : Dayak Ot Danum, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Taboyan, Dayak Lawangan, Dayak Dusun dan Dayak Maanyan. Sedangkan Dayak Hilir (Rumpun Ngaju) terdiri atas: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Katingan, dan Dayak Sampit. Suku Dayak yang dominan di Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju, suku asal Kalimantan lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan ¼ populasi Kalimantan tengah. Masyarakat Suku Dayak Kalimantan Tengah sangat menjunjung tinggi kerukunan, saling menghormati, tolong menolong terhadap sesama manusia baik antara Suku Dayak sendiri maupun Suku Bangsa lain yang datang atau berada di Bumi Tanbun Bungai, mereka tidak mempersoalkan terhadap suku-suku bangsa lain, hal ini terlihat dari budaya masyarakat Dayak yang sangat dikenal yaitu Budaya Rumah Betang. Rumah Betang adalah sebuah rumah panjang yang didalamnya dihuni beberapa orang/keluarga yang hidup rukun damai antara satu dengan yang lainnya. Di kalangan orang Dayak sendiri, satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri.
Beberapa kesenian dan adat dari masyarakat dayak di Kalimantan tengah adalah:
Upacara Tiwah
Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Kebetulan Tiwah menjadi suatu upacara yang unik ketika berada di tanah Tambun Bungai ini. Tiwah merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan. Upacara Tiwah digelar dan dilaksanakan oleh keluarga ( Dayak ) yang masih hidup  untuk anggota keluarganya yang telah meninggal dunia. Tiwah harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si arwah ke Lewu Tatau (surga). Liau atau arwah disini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu: Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku. Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang. Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya.
Talawang
Talawang adalah alat yang digunakan oleh suku Dayak untuk  pertahanan diri atau pelindung diri dari serangan musuh. Selain sebagai pelengkap alat pertahanan diri, talawang juga digunakan sebagai pelengkap dalam tari-tarian. Tarian adat daerah merupakan salah satu kebudayaan yang harus dilestarikan agar tidak punah. Tarian-tarian ini dapat memperkaya budaya nasional bangsa Indonesia.
Mandau
Zaman dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, rohnya akan mendiami mandau tersebut sehingga menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani. Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

D.    Kebudayaan Suku Kutai Kalimantan Timur
Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai. Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, kemudian dengan masuknya budaya melayu dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat Suku Kutai yang berbeda budaya dengan Suku Dayak. Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak. Bahkan hingga saat ini masih ada Suku Kutai di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara yang menganut kepercayaan kaharingan sama halnya dengan Suku Dayak. Di Kutai dahulu terbagi menjadi lima puak (lima suku) yaitu:
Puak Pantun adalah suku tertua di Kalimantan Timur, dan merupakan suku atau Puak yang paling Tua diantara 5 Suku atau Puak Kutai lainya, mereka adalah suku yang mendirikan kerajaan tertua di Nusantara yaitu kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman pada abad 4 Masehi. Suku ini mendiami daerah Muara Kaman Kab. Kutai Kartanegara dan sampai Daerah Wahau dan Daerah Muara Ancalong, serta Daerah Muara Bengkal, Daerah Kombeng di dalam wilayah Kab.Kutai Timur sekarang.
Puak Punang (Puak Kedang) adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq). Oleh karena itu, logat bahasa Suku Kutai Kedang mengalunkan Nada yang bergelombang. Misalnya bahasa Indonesia “Tidak”, Bahasa Kutai “Endik”.
Puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah kedang pahu. Suku ini tersebar di muara pahu dan sekitarnya.
Puak Sendawar (Puak Tulur Djejangkat) adalah suku yang mendiami wilayah sendawar (Kutai Barat), suku ini mendirikan Kerajaan Sendawar di Kutai Barat dengan Rajanya yang terkenal dengan nama Aji Tulut Jejangkat.
Puak Melani (melanti) adalah suku yang mendiami wilayah pesisir seperti Kutai Lama dan Tenggarong.. Mereka merupakan suku termuda diantara puak-puak Kutai, di dalam suku ini telah terjadi percampuran antara suku kutai asli dengan suku pendatang yakni; Banjar, Bugis, Jawa dan Melayu.
Beberapa tradisi dan budaya suku kutai adalah:
Tari Ganjar Ganjur
Tarian ini adalah tarian tradisi asli Kutai Kartanegara yang biasanya ditarikan hanya pada upacara-upacara besar yang dilaksanakan oleh kerabat seperti : Upacara Penyambutan Tamu-Tamu Agung. Upacara Adat ERAU, Upacara Adat Penambalan Sultan Kutai Kartanegara dan lain-lain.
Hadrah
Merupakan kesenian islam yang ditampilkan dengan iring-iringan rebana/terbang (alat perkusi) sambil melantunkan syair-syair serta pujian terhadap akhlak mulia Nabi Muhammad SAW, yang disertai dengan gerak tari. Terdiri dari 2 kelompok, kelompok penabuh hadrah dan kelompok yang melantunkan syair berjanji. Hadrah biasa dipakai pada acara perkawinan, mengantar orang berangkat haji, hari-hari besar islam dan lain sebagainya.
Mamanda
Mamanda merupakan seni panggung (teater), kesenian klasik Melayu (setengah musical/opera) dengan menggunakan instrument Biola dan Gendang. Tema cerita yang dibawakan biasanya tentang kisah para raja.

E.     Kebudayaan Masyarakat Kalimantan Utara (Suku Dayak Agabag)
Suku Dayak Agabag, adalah salah satu Dayak yang mendiami wilayah kecamatan Sembakung, Sebuku, Lumbis dan sebagian Kabupaten Bulungan, seluruhnya berada di kawasan utara Kalimantan Timur. Menurut beberapa peneliti istilah nama Dayak Agabag diberi nama oleh para pendatang yang memasuki wilayah kediaman suku Dayak Agabag, yaitu suku Dayak Tenggalan/ Tengalan. Sedangkan menurut orang Dayak Agabag sendiri istilah Agabag adalah berasal dari Abag (Cawat). Kata Agabag sendiri sudah lama ada dalam bahasa suku Dayak Agabag sebelum ada kata "dayak". Suku Dayak Agabag masih banyak ketinggalan dari berbagai sektor, dengan hadirnya banyak orang Dayak Agabag yang bekerja pada berbagai sektor, mulai dari perusahaan swasta sampai ke instansi negeri, dan juga banyak yang bersekolah dan kuliah hingga ke jenjang yang tinggi. Setelah tenggelam dalam nama Suku Dayak Tenggalan selama beberapa waktu, beberapa orang dari generasi Dayak Agabag melakukan pengkajian secara mendalam terhadap suku yang disebut tenggalan/ tengalan dan ternyata nama ini muncul pada dekade 1970-an dan tidak memiliki ikatan psikologis, sosial dan kultural terhadap suku Dayak Agabag. Untuk menggali kembali sejarah ini yang sempat hilang ini maka digelarkan acara adat yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan Tokoh-Tokoh adat Dayak Agabag yang disebut dengan Ilau. Dalam Ilau tersebut tergalilah keberadaan suku Dayak Agabag secara mendalam.  Hal ini disambut gembira oleh masyarakat suku Dayak Agabag, karena saat ini mereka bisa berdiri sendiri, tidak berada dalam bayang-bayang suku Dayak Tenggalan lagi. Suku dayak Agabag masih berpegang teguh pada pola hidup nomaden hal ini terlihat dari cara mereka berkebun dan berladang di lahan yang tidak tetap. 
Beberapa tradisi adat dalam suku Dayak Agabag adalah :
Kayau atau Mengayau
Pada zaman dahulu suku Dayak Agabag, terkenal dengan tradisi "kayau", "mengayau"nya, yaitu memenggal kepala musuh atau orang yang dianggap musuh. Tradisi ini berlangsung dalam waktu yang lama hingga pada zaman penjajahan Belanda. Konon, pada awal penjajahan belanda pernah terjadi sekelompok orang suku Dayak Agabag menangkap dan membunuh seorang serdadu Belanda di Mansalong, dan memakannya secara beramai-ramai. Saat ini semua tradisi kayau dan kanibal tersebut telah ditinggalkan, dan suku Dayak Agabag telah menjadi suku yang ramah bagi siapapun, termasuk pendatang yang sekedar lewat maupun menetap di wilayah mereka.
Najak Rumah
Kegiatan tradisi masyarakat adat suku Dayak Agabat salah satunya adalah kegiatan najak rumah sebagaimana dilakukan masyarakat adat Tanjung Hulu saat perpindahan warga dari desa Intin ke lokasi Desa Tanjung Hulu, tidak dilakukan secara serempak melainkan secara bertahap. Situasi seperti ini membuat masyarakat setempat melakukan Najak rumah dengan bergotong royong yakni mendirikan pondasi rumah setelah itu kegiatan selanjutnya akan diteruskan oleh orang yang memiliki hajat.
Ritual Dolob
Tradisi ritual Dolob digelar oleh ketua adat Dayak Agabag yang disaksikan masyarakat setempat di sungai terdekat untuk mencari tahu kebenaran siapa pelaku/orang berbuat salah yang dilakukan oleh anggota warganya dengan cara para pihak bersalah menyelam ke dalam air sambil memegang kayu yang ditancapkan ke dasar sungai. Bila benar-benar bersalah keajaiban terjadi pihak yang bersalah seakan diserang binatang air, bahkan pasir maupun lumpur pun ikut menyerang mata, hidung, serta telinga dan muncul kepermukaan air dalam keadaan mulut, telinga, hidung berlumuran darah. Sebaliknya bila pihak benar-benar tidak bersalah orang tersebut dapat bertahan hidup berjam-jam atau berhari-hari di dalam air seperti berada di darat tanpa celaka sedikitpun. Tradisi pengadilan adat seperti Dolob ini masih hidup sampai sekarang dan benar-benar unik.
Salah satu kebiasaan dari suku Dayak Agabag pada saat mereka berduka, para kerabat berdatangan ke rumah duka menyampaikan bela sungkawa sekaligus mengadakan acara minum-minuman keras kadang-kadang sampai mabuk dengan iringan musik yang cukup keras hingga pagi. Salah satu tarian suku Dayak Agabag adalah Tari Gong, yang populer di kalangan masyarakat suku Dayak Abagag.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Masyarakat suku melayu Kalimantan barat sangat kental dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Islam. Masyarakat suku melayu memiliki lima falsafah dan berlandaskan lima dasar. Contoh kebudayaan yang melekat pada suku ini adalah adanya tradisi tepung tawar dan robo-robo. Budaya masyarakat suku banjar Kalimantan selatan adalah hasil asimilasi selama berabad-abad yang dipengaruhi oleh kepercayaan Islam dibawa oleh pedagang Arab dan Persia. Contoh kebudayaan suku banjar ini adalah mahidin, pasar terapung dan baayun. Suku dayak adalah salah satu suku terbesar di Kalimantan tengah yang menjunjung tinggi nilai kerukunan. Contoh kebudayaan suku ini adalah adanya upacara tiwah, rumah betang, Mandau dan talawang sebagai alat tradisional mereka. Suku kutai di Kalimantan timur dahulu adalah bagian dari suku dayak disana yang dibagi menjadi lima puak(suku). Contoh kebudayaan suku kutai ini adalah tari ganjar-ganjur, hadrah dan mamanda. Suku Dayak Agabag bertahan hidup dengan keadaan nomaden seperti berkebun dan berladang dilahan yang tidak tetap. Contoh tradisi dan budaya suku Dayak Agabag ini adalah tradisi ritual dolob, najak rumah, dan ritual kayau.

B.     Saran
Melestarikan suatu kebudayaan adalah dengan cara mendalami atau paling tidak mengetahui tentang budaya itu sendiri. Mempertahankan nilai budaya, salah satunya dengan mengembangkan seni budaya tersebut bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai budayanya. Kita wajib melestarikan budaya-budaya daerah kita agar tidak luntur/hilang. Membanggakan budaya Negara sendiri lebih baik daripada kita harus membangga-banggakan budaya Negara lain. Diperlukan sikap toleransi untuk mencapai kehidupan dengan budaya yang berbeda-beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar