Kamis, 21 Juli 2016

Analisis Novel: Mandi Cahaya Rembulan

1.      Sinopsis Novel
Judul : Mandi Cahaya Rembulan
            Kampung pesisir adalah sebuah desa di pinggiran daerah Depok yang tanahnya masih dataran tinggi.Dikelilingi sawah hijau, pepohonan rimbun dan juga alam yang masih asli.Penduduknya kebanyakan berprofesi sebagai pedangang dan petani selain itu juga ada yang berprofesi sebagai guru, Zulkarnain adalah salah satunya.Beristrikan seorang wanita yang bernama Maryam. Karir guru Zulkarnain semakin merosot karena selamanya ia akan tetap menjadi guru honorer. Ia sadar betul, gaji seorang guru honorer kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan istrinya. Pada saat hamil, Maryam bermimpi melihat cahaya rembulan diatas rumahnya tembus hingga ke bilik rumah mereka.Orang bilang arti dari mimpi Maryam bertanda baik bagi kehidupan mereka selanjutnya. Sembilan bulan menanti kelahiran buah hati, lahirlah seorang bayi laki-laki yang mereka beri nama Bayram Abqori. Ia biasa dipanggil Qori. Qori tumbuh menjadi anak yang baik budinya dengan ajaran agama orang tuanya dan ia sadar betul bahwa ia dibesarkan dari keluarga yang kurang mampu. Kini Qori telah tamat dari bangku SMA ia berniat melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Tapi, kendala terletak dikondisi keuangan orang tuanya. Agar tidak menganggur, jadilah ia seorang guru honorer demi menabung uang untuk melanjutkan pendidikannya.

Namun, ia merasa kecewa karena gaji seorang guru honorer hanya dihargai dengan uang Rp35.000 per bulan. Qori mengurungkan niatnya untuk menjadi guru dan ingin beralih profesi menjadi buruh.Mendengar kabar bahwa Qori mengurungkan niat menjadi guru, ayahnya memberi inspirasi dan pandangan bahwa guru adalah pekerjaan yang mulia. Qori kembali berfikir tentang nasehat ayahnya dan semangat menjadi guru karena ingin mencari kesejahteraan  berkah seperti yang dikatakan ayahnya. Disisi lain, Qori sadar bahwa uang gaji Rp35.000 sangat kurang untuk biaya pendidikannya. Namun, semangatnya menjadi guru dating karena murid-murid yang berbeda dari segi karakter, keluarga dan lingkungannya.Qori tetap memegang teguh nasehat kedua orang tuanya, untuk menjadi seperti cahaya bulan yang menyinari saat malam dan sering menjadi inspirasi.Setelah beberapa tahun menjadi guru honorer, Qori mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Dengan ini, ia dapat mewujudkan nasehat-nasehat orang tuanya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dan tidak lupa akan agamanya.

2.      Tema
Seorang anak yang terinspirasi menjadi seorang guru karena ayahnya.
“Ya sudah.Pilihlah pekerjaan seperti Rojali yang gajinya jauh lebih besar.Buruh pabrik juga pekerjaan yang mulia dan halal.Sama halalnya dengan mengajar.Hanya saja kamu tidak mencerdaskan banyak orang. Kesempatanmu membuka cakrawala anak-anak untuk berfikir, merenung dan menemukan kebenaran tidak ada sama sekali. Hari-harimu hanya akan kamu habiskan dengan rutinitas kerja. Bapak tidak memaksamu menjadi apa dan harus bagaimana. Bapak hanya bahagia jika kamu bisa menjadi suluh bagi orang lain. Mengajar seperti memberi cahaya di malam buta dan semua orang akan datang mendekatimu. Kamu punya kesempatan mandi cahaya rembulan, Qori.Seperti riwayat Abu Darda.”( Halaman 52 sampai 53)

3.      Tokoh
·         Zulkarnain
·         Maryam
·         Bayram Abqori
·         Eneng
·         Syam
·         Nyai dan Abah ( Orang tua Zulkarnain )
·         Zainab
·         Bejo
·         Umi Nurul
·         Pak Saif, Pak Sarmili, Ibu Zulfa, Ibu Nilam, dan Ibu Saraswati (Guru Madrasah)
·         Suster Yasmin dan Suster Netha (Suster di rumah sakit)
·         Johan,Hanum,Nafiza,Maghfira,Lastri,dan Lili (murid Qori)
·         Pak Burhan
·         Rustam
·         Kepala Madrasah
·         Ayah angkat Maghfira
·         Kakek Maghfira

4.      Penokohan
·         Zulkarnain :Laki-laki yang sabar dalam segala cobaan, ayah yang selalu mengajarkan kebaikan pada anaknya dan menginspirasi orang banyak.
“Zulkarnain orang terpelajar yang miskin.Rezekinya tidak setinggi pendidikannya.Hidupnya kurang dari sederhana dibanding satu dua orang kaya pesisir yang tidak sekolah.” (Halaman 13)
·         Maryam : istri Zulkarnain, sabar, penurut dan ibu yang mendidik anak-anaknya dengan baik.

“Namun, Zulkarnain masih beruntung.Ia memiliki istri yang sabar dan penurut, meskipun kesabaran istrinya itu pernah terbang sesaat. Maryam nama istrinya. Belahan jiwa yang menemani hari-hari Zulkarnain.” (Halaman 13)

“Beruntunglah Nyai, sebab Maryam bukanlah wanita yang pendendam. Ia melayani akhir hayat Nyai sebagai takdirnya. Maryam tidak merasa jijik dengan kotoran, kubul dan dubur saat ibu mertuanya buang air dan diistinjakan.Maryam hanya berharap berkah dengan mengurus Nyai seperti merawat ibu kandungnya sendiri.Sehari menjelang wafatnya, Nyai berulang kali meminta ridho dan keikhlasan Maryam yang telah melayaninya sampai akhir hayat.” (Halaman 20)

·         Bayram Abqori : anak Zulkarnain dan Maryam yang dibesarkan dengan ilmu agama dan kesederhanaan, dia juga berbakti kepada orang tuanya dalam kondisi apapun, dan anak yang penurut.
“Namanya Bayram Abqori. Qori ia biasa dipanggil. Tumbuh semakin besar dibawah asuhan orangtua yang bijak, miskin, dan bersahaja.Raganya sehat, jiwanya riang.Seperti rata-rata anak kampung pesisir.Perawakannya tinggi kurus.Wajahnya bulat.Rambutnya lurus dan berhidung tipis.Tampaklah sifat fisik bapaknya yang sangat dominan ada pada diri Qori.” (Halaman 33)

·         Eneng : Adik ipar Zulkarnain, wanita yang sombong dan angkuh. Sifatnya tidak terlalu baik, karena sering menyakiti perasaan orang lain.
“Maryam bukan saja sabar karena himpitan ekonomi, tapi juga sabar karena kelaukan adik iparnya.Perempuan itu keras hati, angkuh, dan berlidah pahit.Maryam harus sering menebalkan telinga dan menguatkan hati.Bahkan ia harus lebih sabar dari sekedar menanggung kemiskinan suaminya.” (Halaman 14)

“Eneng kemudian dipuji-puji di depan Maryam. Sementara Maryam menelan omelan di depan telinga Eneng. Maryam terpuruk sambil menelan getirnya sebuah keculasan dan omelan. Begitulah cara Eneng merebut hati mertuanya. Lincah sekali ia menyingkirkan Maryam dari jalinan kasih menantu-mertua dirumah tangganya.” (Halaman 15)
 
·         Syam : guru yang tamak dengan uang dan dzolim.
“Syam, kawan mengajar di madrasah yang dirintisnya bersama-sama, menguasai keuangan madrasah dan menikmatinya sendiri.” (Halaman 11)

·         Zainab : Adik Qori yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, bersifat manja seperti anak perempuan pada umumnya, dan senang membantu ibunya.
“Zainab sangat dekat dengan Qori.Ia adik perempuan yang ringan tangan. Sering membantu Maryam dalam urusan rumah tanpa diminta.Wajahnya cantik, dan berkulit putih.Rambutnya panjang sebahu, hitam dan lebat.Tidak tampak sebagai anak perempuan dari keluarga pas-pasan.” (Halaman 34)

·         Bejo : teman Qori yang kurang bersyukur atas pekerjaan, dan suka mengeluh.
“Qor, enak ya kalau jadi guru. Tidak seperti satpam kayak saya. Jadi guru kan tidak ada shift-shift-an kayak satpam. Enggak ada jaga malam, orang-orang enak tidur kita mash keliling-keliling.Belum lagi resiko keamanan.Padahal gaji sebulan cuma tiga ratus ribu.” (Halaman 61)

·         Umi Nurul : sosok guru yang menginspirasi Qori dan orang yang memotivasi.
“Umi nurul bukan sekedar guru.Ia sosok wanita ibu ang dalam dirinya mengalir jiwa murabbi. Sosoknya bagi madrasah ruhani yang mendidik dngan cinta dan senyum. Meluruskan yang berbuat ulah, memotivasi yang malas belajar dan mengajarkan konsekuensi bagi melupakan pekerjaan rumah(PR). Jika ia terpaksa menghukum, hukumannya pasti mendidik. Bukan dengan gemerutuk gigi atau menakut-nakuti.” (Halaman 65)\

·         Johan : murid Qori yang cerdas, memiliki imajinasi tinggi dan pendiam.
“Jika gambar itu adalah potret Johan, Johan  tidaklah bodoh seperti yang disangkakan. Justru ia cerdas. Imajinasinya mampu menerjemahkan perasaannya lewat media gambar.Dalam beberapa sisim gambar lebih mencerminkan keluasan makna daripada narasi yang terikat oleh kata dan paragraph.Imanijasi Jphan justru bekerja dengan sangat baik.Hal ini yang membuat Qori yakin Johan tidaklah sebodoh yang dikira.” (Halaman 77 sampai 78)

·         Hanum : murid Qori yang cerdas dan ceria namun menderita sakit kanker otak.
“Mengenang Hanum adalah mengenang keharuan, kecerdasan, keceriaan, kepolosan, senyum dan keseriusan.Ia siswa dengan kemampuan diatas rata-rata. Meskipun tidak diketahui berapa angka untuk IQ-nya, prestasi nilainya menunjukkan hal itu, Ukuran kecerdasannya ditaksir dari hampir semua nilai mata pelajaran yang dikuasainya dengan amat sempurna.Sejak kelas satu sampai kelas empat, taka da satupun dari temannya yang diberi kesempatan memindahkan posisinya dari peringkat satu.” (Halaman 120 sampai 121)

·         Maghfira : murid Qori yang ceria, sopan dan baik hati.
“Maghfira memang tidak terlalu cerdas pada sisi akademis.Tapi kecerdasan sosialnya sangat menonjol.Ia tidak seperti siswa kelas empat kebanyakan. Ia kelihatan lebih dewasa dari teman-temannya. Ringan tangan, cekatan, inisiatif dan suka menengahi.” (Halaman 147)

·         Suster Yasmin : suster baik hati yang senang memberi motivasi, dan sosok wanita yang baik.
“Suster berkaca mata dan berkerudung itu sangat disukainya. Suster itu lebih banyak memberinya dorongan semangat untuk sembuh  daripada suster yang lain. Ia sangat perhatian meskipun sekedar mengingatkan Hanum untuk tidak lupa berdoa setiap malam menjelang tidur dan bangun tidur untuk kesembuhannya. Ia tidak sekedar datang untuk mengecek tekanan darah, mengingatkan untuk minum obat dan mengambil tindakan cepat saat kondisi Hanum membutuhkan.” (Halaman 99)

·         Pak Sarmili :Guru yang baik dan senang melatih keberanian muridnya.
“Pak Sarmili memang guru yang rajin.Dia rajin sekali meminta anak-anak menggantikan perannya menulis materi pelajaran di papan tulis.Alasannya melatih mereka agar berani maju ke muka kelas. Katanya, mereka yang berani menulis materi pelajaran dipapan tulis, lebih menguasai materi itu ketimbang siswa yang lain.” (Halaman 132 sampai 133)

5.      Latar

A.    Latar Tempat
·         Kampung Pesisir, sebuah dusun dipinggiran Depok.
“Kampung Pesisir, sebuah dusun dipinggira Depok.” (Halaman 5)

·         Rumah
“Ia belum memiliki rumah sendiri.Di rumah itu tinggal pula adik laki-lakinya yang juga sudah beristri.” (Halaman 11)

·         Warung
“Tapi kedatangannya ke warung tidak membawa hasil.” (Halaman 36)

·         Sekolah Guru Agama
“Qori mantap ingin masuk Sekolah Guru Agama.” (Halaman 38)

·         Madrasah dan kampong sebelah
“Lepas lulus dari sekolah agama, Qori dipinang mengajar di madrasah kampong sebelah.” (Halaman 39)

·         Kantor
“Guru-guru masih duduk-duduk di kantor menunggu dipanggil TU untuk mengambil honor.” (Halaman 83)

·         Rumah sakit
“Bundanya Hanum mampir ke madrasah sebelum berangkat kembali ke RSCM.” (Halaman 102)

·         Masjid
“Num, kita ngobrol di teras masjid yuk.” (Halaman 121)

·         Pemakaman
“Suasana duka bertambah kuat saat dipemakaman.” (Halaman 143)

·         Hiroshima dan Nagasaki (Halaman 66 sampai 67)

B.     Latar Waktu

·         Tiga puluh delapan tahun yang lalu
“Tiga puluh delapan tahun yang lalu sangat sejuk dan asri.” (Halaman 5)

·         Mulai lepas sholat isya sampai menjelang subuh
“Mulai lepas sholat isya sampai menjelang subuh, rezeki Allah melimpah bertebaran diatas air berlumpur.” (Halaman 10)

·         Hari-hari terakhir kehamilan dan bulan april.
“Hari-hari terakhir Maryam menjalani kehamilan semakin dekat.Sampai waktu yang dinantikan tiba, lahirlah bayi laki-laki dari rahimnya d bulan April.” (Halaman 32)

·         Sebelum pukul tujuh pagi
“Sebelum pukul tujuh pagi ia sudah harus sampai.” (Halaman 43)

·         Siang hari
“Bergelut dengan siswa-siswanya sampai pukul 12.35 siang.” (Halaman 43)

·         Adzan maghrib
“Sayup-sayup kumandang adzan maghrib terdengar syahdu.” (Halaman 55)

·         Malam hari
“Malam bertambah khusyu oleh benderang cahaya rembulan.” (Halaman 57)

·         Tahun 1945
“Sesaat setelah Hiroshima dan Nagasaki diratatanhkan dengan bom atom pada tahun 1945.” (Halaman 66 sampai 67)

·         Sepuluh menit
“Jam bubar sekolah sudah berlalu sepuluh menit.” (Halaman 83)

·         Tanggal 5 awal bulan
“Honor selalu dibayar tepat waktu pada tanggal lima tiap awal bulan.” (Halaman 83)

·         Dua hari menjelang wafat Hanum
“Dua hari menjelang waftanya, Hanum fasih sekali bicara tentang guru-gurunya.” (Halaman 114)

·         Seminggu
      “Seminggu berlalu setelah kepergiaan Hanum.” (Halaman 114)
 
·         Sebelum waktu dzuhur
“Sebelum waktu dzuhur datang mengajak Qori untuk bersyukur…” (Halaman 131)

·         Dua hari berturut-turut dan jam istirahat
“Dua hari berturut-turut Maghfira dan Lastri kehabisan jajanan es buah di jam istirahat.” (Halaman 131 sampai 132)

·         Tradisi tiga, tujuh, empat puluh dan seratus hari kematian Maghrifa
“Tradisi tiga, tujuh, empat puluh dan seratus hari sudah lumrah.” (Halaman 149)

·         Subuh
“Hujan yang mengguyur bumi sejak subuh masih menyisakan gerimis.” (Halaman 214)

·         Tepat pukul tujuh
“Tepat pukul tujuh hujan kembali turun.” (Halaman 214)

C.    Latar Suasana

·         Menengangkan
“Tidak.Saya tidak izinkan kamu pulang. Jika kamu memaksa tetap pergi meninggalkan rumah ini, maka selamanya kamu tidak akan pernah bisa kembali. Kecuali aku yang memintanya!” (Halaman 17)

“Suasana semakin tak terkendali.Adu mulut segera berubah adu otot.Orang yang berbadan tegap itu mencengkeram kerah baju orang disampingnya sambil berteriak dengan murka dan memuncak.” (Halaman 141)

·         Menyedihkan atau bersedih hati
“Maryam tersedu. Sambil menangis ia bergegas masuk ke bilik kamarnya. Zulkarnain menduga, Maryam akan menghabiskan tangisnya diranjang tua milik mereka.” (Halaman 18)

“Ayah angkat Maghfira digandeng kerabatnya. Matanya tidak sedikitpun dipalingkan dari pusara barang sekejab.Payah kelihatan wajahnya menahan duka.Sampai prosesi pemakaman selesai, belum juga lepas rasa pememilikan atas Maghfira.” (Halaman 143)

·         Bahagia
“Zulkarnain berbunga-bunga mendengar pengakuan Maryam.Matanya berbinar bahagia menyambut karunia di pagi itu.Dilepaskannya gelas dan singkong rebus yang tengah dinikmatinya.” (Halaman 23)

“Qori juga bahagia menerima tawaran mengajar. Tawaran itu menyelamatkan air mukanya dari menganggur selepas lulus tanpa harus bersusah payah mencari sekolah sana-sini.” (Halaman 39)

·         Memalukan dan menyedihkan
“Bagaimana tidak, sebab tindakan kepala sekolah yang demikian itu telah melukai hati dan mempermalukan harga dirinya di muka kelas.Apalagi sesampainya dirumah, taka da nasi untuk mengganjal perutnya yang lapar.Bertambahlah kepedihan Qori lahir bathin.” (Halaman 37)

·         Kecewa
“Ini merupakan kekecewaan kedua setelah cita-citanya mondok di juga tidak dapat diwujudkan.Dengan tetap ingin menjadi guru, Qori memilih masuk Madrasah Aliyah disebuah pondok pesantren.Cita-citanya menjadi guru agama dimatangkan di pesantren itu.” (Halaman 38)

“Rasa hampa di dadanya itu muncul setelah tadi ia menerima dan membuka amplop gaji pertamanya. Tungkai Qori serasa lepas, ia seolah tidak percaya. Ia hanya menemukan tiga lembar uang sepuluh ribuan dan selembar lima ribuan.” (Halaman 44)

“Sejujurnya ia merasa sakit dengan hinaaan dan celaan atas kemiskinannya. Bila mengingat itu semua, luka hati Zulkarnain seperti  tidak pernah kering. Dan Qori seperti membuat luka basah itu berdarah lagi.” (Halaman 51)

“Sejujurnya Qori hanya menuruti emosi soal gaji Sesungguhnya ia kecewa atas ketimpangan kesejahteraan yang menganga lebar.Bagaimana mungkin kemuliaan menjadi pendidik dihargai sangat murah jauh dbawah gaji seorang buruh pabrik.” (Halaman 53)

·         Pasrah
“Ya Allah hamba sudah tidak kuat” Terdengar Bunda Hanum bergumam lemah.Matanya sayu menatap dokter yang tengah berjuang menolongnya. (Halaman 107 sampai 108)

·         Panik
“Beberpa saat Lastri tepana.Ia tidak mengerti apa yang tengah terjadi dan harus berbuat apa. Akhirnya jeritan meminta tolong melengking juga dari mulutnya.Jeritan itu didengar orang dari dalam rumah yang dipagari perdu.” (Halaman 134)

“Suasana seketika menjadi cemas dengan kata-kata kesetrum.Apalagi, salah seorang guru tengah bercerita soal tetangga rumahnya yang dirawat di rumah sakit karena sengatan listrik.’ (halaman 135)

·         Tidak karuan
“Suasana menjadi campur aduk, tidak karuan antara kesedihan, ketakutan dan kemarahan yang meluap-luap. Beberapa orang yang berada disekitar jenazah berhamburan keluar mencari tahu apa yang terjadi. Dua orang bersitegang sama-sama panas.Seseorang bersrikeras agar oelaku yang meletakkan kabel itu diusut.Kalau perlu dilanjutkan sampai kepolisisan.Seorang lagi meoloak keras tidak perlu.” (Halaman 140)

·         Kebanggaan dan kebahagiaan
“Qori tidak menyangka, honor gajinya yang hanya Rp35.000 sebulan dan pengalamannya mengajar yang ditulisnya menjadi tiket untuk melanjutkan studi sampai ia meraih gelar sarjana kelak.” (Halaman 217)

6.      Alur
Dalam novel ini menggunakan alur campuran
·         Alur maju
“Hari-hari berikutnya Maryam sibuk merawat Nyai hingga menjelang wafatnya.” (Halaman 20)

·         Alur mundur
“Ada pula sesuatu yang aneh saat Qori membongkar pengalaman belajarnya dulu.Saat seorang teman SD-nya berulang kali tidak naik kelas.Dimana salahnya?” (Halaman 68)

7.      Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang pertama.
·         Sudut pandang orang ketiga
“Nasib karir mengajar Zulkarnain kian jatuh. Dengan besaran honor yang tidak seberapa, ia harus pula tidak dibayar.” (Halaman 11)

·         Sudut pandang orang pertama
“Maafkan saya, Bah.Biar Eneng saja yang merawat Nyai.Dia lebih pandai melayani daripada saya.Saya sudah terlanjur tidak diberi tempat. Dengan saya pergi, hati saya tentu tidak akan bertambah dendam pada Eneng. Juga tidak perlu Eneng mencari-cari cara bagaimana menjatuhkan saya di mata Nyai. Saya mohon pamit bah.”Mata Maryam berkaca-kaca, memberikan jawaban pada sosok mertua yang dipanggilnya Abah. (Halaman 17)

8.      Gaya Bahasa

·         Personifikasi
“Jika tali plastic itu ditarik-tarik, orang-orangan bergerak hidup dan mengeluarkan bunyi berisik.” (Halaman 8)

“Bulan penuh leluasa mengintip dari muka jendela yang menganga.” (Halaman 57)

“Tetapi surat itu telah menghempaskan harapannya menjauh.” (Halaman 220)

·         Metafora
“Cahayanya yang putih lembut menembus bagai tirai yang dibentangkan.” (Halaman 57)

“Warnanya yang putih bagai kapas amat mempesona.” (Halaman 129)

·         Simile
“Selokan jernih yang mengelilingi tepi batas daratan bagai cincin melingkar yang mengikat jari amat serasi.” (Halaman 6)

“Kaki jangkungnya kurus seperti batang-batang bambu Cina.” (Halaman 129)

“Geraknya yang lincah seperti penari Bali yang energik dengan kipas ditangannya.” (Halaman 129)

“Perasaannya bagai dihempas suratan nasib bahagia yang tidak ingin beranjak padanya.” (Halaman 220)

·         Hiperbola
“Bau harum daging bakar yang mengundang liur menyeruak ditengah sawah, disantap perut-perut yang keroncongan.” (Halaman 10)

“Jika angin bertiup kencang, rumpun bambu berderak-derak.Suaranya bagai gemuruh kepanikan yang menciutkan nyali.” (Halaman 12)

“Amukan mereka seperti petir bersahutan menyambar-nyambar dengan kilatnya yang menyilaukan.” (Halaman 39 sampai 40)

9.      Amanat
Untuk menolong orang lain tidak perlu mengharapkan imbalan yang besar. Cukup dengan memberi manfaat kepada orang lain. Melakukan sesuatu juga harus dengan ridho Tuhan dan orang tua. Agar yang kita lakukan dapat bermanfaat bagai orang-orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar