1. Sinopsis Novel
Judul
: Mandi Cahaya Rembulan
Kampung pesisir adalah sebuah desa di pinggiran daerah
Depok yang tanahnya masih dataran tinggi.Dikelilingi sawah hijau, pepohonan
rimbun dan juga alam yang masih asli.Penduduknya kebanyakan berprofesi sebagai
pedangang dan petani selain itu juga ada yang berprofesi sebagai guru,
Zulkarnain adalah salah satunya.Beristrikan seorang wanita yang bernama Maryam.
Karir guru Zulkarnain semakin merosot karena selamanya ia akan tetap menjadi
guru honorer. Ia sadar betul, gaji seorang guru honorer kurang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup ia dan istrinya. Pada saat hamil, Maryam bermimpi
melihat cahaya rembulan diatas rumahnya tembus hingga ke bilik rumah
mereka.Orang bilang arti dari mimpi Maryam bertanda baik bagi kehidupan mereka
selanjutnya. Sembilan bulan menanti kelahiran buah hati, lahirlah seorang bayi
laki-laki yang mereka beri nama Bayram Abqori. Ia biasa dipanggil Qori. Qori
tumbuh menjadi anak yang baik budinya dengan ajaran agama orang tuanya dan ia
sadar betul bahwa ia dibesarkan dari keluarga yang kurang mampu. Kini Qori
telah tamat dari bangku SMA ia berniat melanjutkan pendidikannya ke bangku
kuliah. Tapi, kendala terletak dikondisi keuangan orang tuanya. Agar tidak
menganggur, jadilah ia seorang guru honorer demi menabung uang untuk
melanjutkan pendidikannya.
Namun,
ia merasa kecewa karena gaji seorang guru honorer hanya dihargai dengan uang
Rp35.000 per bulan. Qori mengurungkan niatnya untuk menjadi guru dan ingin
beralih profesi menjadi buruh.Mendengar kabar bahwa Qori mengurungkan niat
menjadi guru, ayahnya memberi inspirasi dan pandangan bahwa guru adalah
pekerjaan yang mulia. Qori kembali berfikir tentang nasehat ayahnya dan
semangat menjadi guru karena ingin mencari kesejahteraan berkah seperti yang dikatakan ayahnya. Disisi
lain, Qori sadar bahwa uang gaji Rp35.000 sangat kurang untuk biaya
pendidikannya. Namun, semangatnya menjadi guru dating karena murid-murid yang
berbeda dari segi karakter, keluarga dan lingkungannya.Qori tetap memegang
teguh nasehat kedua orang tuanya, untuk menjadi seperti cahaya bulan yang
menyinari saat malam dan sering menjadi inspirasi.Setelah beberapa tahun
menjadi guru honorer, Qori mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Dengan ini, ia
dapat mewujudkan nasehat-nasehat orang tuanya untuk menjadi orang yang
bermanfaat bagi orang lain dan tidak lupa akan agamanya.
2. Tema
Seorang
anak yang terinspirasi menjadi seorang guru karena ayahnya.
“Ya sudah.Pilihlah
pekerjaan seperti Rojali yang gajinya jauh lebih besar.Buruh pabrik juga
pekerjaan yang mulia dan halal.Sama halalnya dengan mengajar.Hanya saja kamu
tidak mencerdaskan banyak orang. Kesempatanmu membuka cakrawala anak-anak untuk
berfikir, merenung dan menemukan kebenaran tidak ada sama sekali. Hari-harimu
hanya akan kamu habiskan dengan rutinitas kerja. Bapak tidak memaksamu menjadi
apa dan harus bagaimana. Bapak hanya bahagia jika kamu bisa menjadi suluh bagi
orang lain. Mengajar seperti memberi cahaya di malam buta dan semua orang akan
datang mendekatimu. Kamu punya kesempatan mandi cahaya rembulan, Qori.Seperti
riwayat Abu Darda.”( Halaman 52 sampai 53)
3. Tokoh
·
Zulkarnain
·
Maryam
·
Bayram Abqori
·
Eneng
·
Syam
·
Nyai dan Abah ( Orang tua Zulkarnain )
·
Zainab
·
Bejo
·
Umi Nurul
·
Pak Saif, Pak Sarmili, Ibu Zulfa, Ibu
Nilam, dan Ibu Saraswati (Guru Madrasah)
·
Suster Yasmin dan Suster Netha (Suster
di rumah sakit)
·
Johan,Hanum,Nafiza,Maghfira,Lastri,dan
Lili (murid Qori)
·
Pak Burhan
·
Rustam
·
Kepala Madrasah
·
Ayah angkat Maghfira
·
Kakek Maghfira
4. Penokohan
·
Zulkarnain :Laki-laki yang sabar dalam
segala cobaan, ayah yang selalu mengajarkan kebaikan pada anaknya dan
menginspirasi orang banyak.
“Zulkarnain orang
terpelajar yang miskin.Rezekinya tidak setinggi pendidikannya.Hidupnya kurang
dari sederhana dibanding satu dua orang kaya pesisir yang tidak sekolah.”
(Halaman 13)
·
Maryam : istri Zulkarnain, sabar,
penurut dan ibu yang mendidik anak-anaknya dengan baik.
“Namun, Zulkarnain
masih beruntung.Ia memiliki istri yang sabar dan penurut, meskipun kesabaran
istrinya itu pernah terbang sesaat. Maryam nama istrinya. Belahan jiwa yang
menemani hari-hari Zulkarnain.” (Halaman 13)
“Beruntunglah Nyai,
sebab Maryam bukanlah wanita yang pendendam. Ia melayani akhir hayat Nyai
sebagai takdirnya. Maryam tidak merasa jijik dengan kotoran, kubul dan dubur saat
ibu mertuanya buang air dan diistinjakan.Maryam hanya berharap berkah dengan
mengurus Nyai seperti merawat ibu kandungnya sendiri.Sehari menjelang wafatnya,
Nyai berulang kali meminta ridho dan keikhlasan Maryam yang telah melayaninya
sampai akhir hayat.” (Halaman 20)
·
Bayram Abqori : anak Zulkarnain dan
Maryam yang dibesarkan dengan ilmu agama dan kesederhanaan, dia juga berbakti
kepada orang tuanya dalam kondisi apapun, dan anak yang penurut.
“Namanya Bayram Abqori.
Qori ia biasa dipanggil. Tumbuh semakin besar dibawah asuhan orangtua yang
bijak, miskin, dan bersahaja.Raganya sehat, jiwanya riang.Seperti rata-rata
anak kampung pesisir.Perawakannya tinggi kurus.Wajahnya bulat.Rambutnya lurus
dan berhidung tipis.Tampaklah sifat fisik bapaknya yang sangat dominan ada pada
diri Qori.” (Halaman 33)
·
Eneng : Adik ipar Zulkarnain, wanita
yang sombong dan angkuh. Sifatnya tidak terlalu baik, karena sering menyakiti
perasaan orang lain.
“Maryam bukan saja
sabar karena himpitan ekonomi, tapi juga sabar karena kelaukan adik
iparnya.Perempuan itu keras hati, angkuh, dan berlidah pahit.Maryam harus
sering menebalkan telinga dan menguatkan hati.Bahkan ia harus lebih sabar dari
sekedar menanggung kemiskinan suaminya.” (Halaman 14)
“Eneng kemudian
dipuji-puji di depan Maryam. Sementara Maryam menelan omelan di depan telinga
Eneng. Maryam terpuruk sambil menelan getirnya sebuah keculasan dan omelan.
Begitulah cara Eneng merebut hati mertuanya. Lincah sekali ia menyingkirkan
Maryam dari jalinan kasih menantu-mertua dirumah tangganya.” (Halaman 15)
·
Syam : guru yang tamak dengan uang dan
dzolim.
“Syam, kawan mengajar
di madrasah yang dirintisnya bersama-sama, menguasai keuangan madrasah dan
menikmatinya sendiri.” (Halaman 11)
·
Zainab : Adik Qori yang masih duduk di
bangku Sekolah Dasar, bersifat manja seperti anak perempuan pada umumnya, dan
senang membantu ibunya.
“Zainab sangat dekat
dengan Qori.Ia adik perempuan yang ringan tangan. Sering membantu Maryam dalam
urusan rumah tanpa diminta.Wajahnya cantik, dan berkulit putih.Rambutnya
panjang sebahu, hitam dan lebat.Tidak tampak sebagai anak perempuan dari
keluarga pas-pasan.” (Halaman 34)
·
Bejo : teman Qori yang kurang bersyukur
atas pekerjaan, dan suka mengeluh.
“Qor, enak ya kalau
jadi guru. Tidak seperti satpam kayak saya. Jadi guru kan tidak ada
shift-shift-an kayak satpam. Enggak ada jaga malam, orang-orang enak tidur kita
mash keliling-keliling.Belum lagi resiko keamanan.Padahal gaji sebulan cuma
tiga ratus ribu.” (Halaman 61)
·
Umi Nurul : sosok guru yang
menginspirasi Qori dan orang yang memotivasi.
“Umi nurul bukan
sekedar guru.Ia sosok wanita ibu ang dalam dirinya mengalir jiwa murabbi.
Sosoknya bagi madrasah ruhani yang mendidik dngan cinta dan senyum. Meluruskan
yang berbuat ulah, memotivasi yang malas belajar dan mengajarkan konsekuensi
bagi melupakan pekerjaan rumah(PR). Jika ia terpaksa menghukum, hukumannya
pasti mendidik. Bukan dengan gemerutuk gigi atau menakut-nakuti.” (Halaman 65)\
·
Johan : murid Qori yang cerdas, memiliki
imajinasi tinggi dan pendiam.
“Jika gambar itu adalah
potret Johan, Johan tidaklah bodoh
seperti yang disangkakan. Justru ia cerdas. Imajinasinya mampu menerjemahkan
perasaannya lewat media gambar.Dalam beberapa sisim gambar lebih mencerminkan
keluasan makna daripada narasi yang terikat oleh kata dan paragraph.Imanijasi
Jphan justru bekerja dengan sangat baik.Hal ini yang membuat Qori yakin Johan
tidaklah sebodoh yang dikira.” (Halaman 77 sampai 78)
·
Hanum : murid Qori yang cerdas dan ceria
namun menderita sakit kanker otak.
“Mengenang Hanum adalah
mengenang keharuan, kecerdasan, keceriaan, kepolosan, senyum dan keseriusan.Ia
siswa dengan kemampuan diatas rata-rata. Meskipun tidak diketahui berapa angka
untuk IQ-nya, prestasi nilainya menunjukkan hal itu, Ukuran kecerdasannya
ditaksir dari hampir semua nilai mata pelajaran yang dikuasainya dengan amat
sempurna.Sejak kelas satu sampai kelas empat, taka da satupun dari temannya
yang diberi kesempatan memindahkan posisinya dari peringkat satu.” (Halaman 120
sampai 121)
·
Maghfira : murid Qori yang ceria, sopan
dan baik hati.
“Maghfira memang tidak
terlalu cerdas pada sisi akademis.Tapi kecerdasan sosialnya sangat menonjol.Ia
tidak seperti siswa kelas empat kebanyakan. Ia kelihatan lebih dewasa dari
teman-temannya. Ringan tangan, cekatan, inisiatif dan suka menengahi.” (Halaman
147)
·
Suster Yasmin : suster baik hati yang
senang memberi motivasi, dan sosok wanita yang baik.
“Suster berkaca mata
dan berkerudung itu sangat disukainya. Suster itu lebih banyak memberinya
dorongan semangat untuk sembuh daripada
suster yang lain. Ia sangat perhatian meskipun sekedar mengingatkan Hanum untuk
tidak lupa berdoa setiap malam menjelang tidur dan bangun tidur untuk
kesembuhannya. Ia tidak sekedar datang untuk mengecek tekanan darah,
mengingatkan untuk minum obat dan mengambil tindakan cepat saat kondisi Hanum
membutuhkan.” (Halaman 99)
·
Pak Sarmili :Guru yang baik dan senang
melatih keberanian muridnya.
“Pak Sarmili memang
guru yang rajin.Dia rajin sekali meminta anak-anak menggantikan perannya menulis
materi pelajaran di papan tulis.Alasannya melatih mereka agar berani maju ke
muka kelas. Katanya, mereka yang berani menulis materi pelajaran dipapan tulis,
lebih menguasai materi itu ketimbang siswa yang lain.” (Halaman 132 sampai 133)
5. Latar
A. Latar Tempat
·
Kampung Pesisir, sebuah dusun
dipinggiran Depok.
“Kampung Pesisir,
sebuah dusun dipinggira Depok.” (Halaman 5)
·
Rumah
“Ia belum memiliki
rumah sendiri.Di rumah itu tinggal pula adik laki-lakinya yang juga sudah
beristri.” (Halaman 11)
·
Warung
“Tapi kedatangannya ke
warung tidak membawa hasil.” (Halaman 36)
·
Sekolah Guru Agama
“Qori mantap ingin
masuk Sekolah Guru Agama.” (Halaman 38)
·
Madrasah dan kampong sebelah
“Lepas lulus dari
sekolah agama, Qori dipinang mengajar di madrasah kampong sebelah.” (Halaman
39)
·
Kantor
“Guru-guru masih
duduk-duduk di kantor menunggu dipanggil TU untuk mengambil honor.” (Halaman
83)
·
Rumah sakit
“Bundanya Hanum mampir
ke madrasah sebelum berangkat kembali ke RSCM.” (Halaman 102)
·
Masjid
“Num, kita ngobrol di
teras masjid yuk.” (Halaman 121)
·
Pemakaman
“Suasana duka bertambah
kuat saat dipemakaman.” (Halaman 143)
·
Hiroshima dan Nagasaki (Halaman 66
sampai 67)
B. Latar Waktu
·
Tiga puluh delapan tahun yang lalu
“Tiga puluh delapan
tahun yang lalu sangat sejuk dan asri.” (Halaman 5)
·
Mulai lepas sholat isya sampai menjelang
subuh
“Mulai lepas sholat
isya sampai menjelang subuh, rezeki Allah melimpah bertebaran diatas air
berlumpur.” (Halaman 10)
·
Hari-hari terakhir kehamilan dan bulan
april.
“Hari-hari terakhir
Maryam menjalani kehamilan semakin dekat.Sampai waktu yang dinantikan tiba,
lahirlah bayi laki-laki dari rahimnya d bulan April.” (Halaman 32)
·
Sebelum pukul tujuh pagi
“Sebelum pukul tujuh
pagi ia sudah harus sampai.” (Halaman 43)
·
Siang hari
“Bergelut dengan
siswa-siswanya sampai pukul 12.35 siang.” (Halaman 43)
·
Adzan maghrib
“Sayup-sayup kumandang
adzan maghrib terdengar syahdu.” (Halaman 55)
·
Malam hari
“Malam bertambah khusyu
oleh benderang cahaya rembulan.” (Halaman 57)
·
Tahun 1945
“Sesaat setelah
Hiroshima dan Nagasaki diratatanhkan dengan bom atom pada tahun 1945.” (Halaman
66 sampai 67)
·
Sepuluh menit
“Jam bubar sekolah
sudah berlalu sepuluh menit.” (Halaman 83)
·
Tanggal 5 awal bulan
“Honor selalu dibayar
tepat waktu pada tanggal lima tiap awal bulan.” (Halaman 83)
·
Dua hari menjelang wafat Hanum
“Dua hari menjelang
waftanya, Hanum fasih sekali bicara tentang guru-gurunya.” (Halaman 114)
·
Seminggu
“Seminggu berlalu
setelah kepergiaan Hanum.” (Halaman 114)
·
Sebelum waktu dzuhur
“Sebelum waktu dzuhur
datang mengajak Qori untuk bersyukur…” (Halaman 131)
·
Dua hari berturut-turut dan jam
istirahat
“Dua hari
berturut-turut Maghfira dan Lastri kehabisan jajanan es buah di jam istirahat.”
(Halaman 131 sampai 132)
·
Tradisi tiga, tujuh, empat puluh dan
seratus hari kematian Maghrifa
“Tradisi tiga, tujuh,
empat puluh dan seratus hari sudah lumrah.” (Halaman 149)
·
Subuh
“Hujan yang mengguyur
bumi sejak subuh masih menyisakan gerimis.” (Halaman 214)
·
Tepat pukul tujuh
“Tepat pukul tujuh
hujan kembali turun.” (Halaman 214)
C. Latar Suasana
·
Menengangkan
“Tidak.Saya tidak
izinkan kamu pulang. Jika kamu memaksa tetap pergi meninggalkan rumah ini, maka
selamanya kamu tidak akan pernah bisa kembali. Kecuali aku yang memintanya!”
(Halaman 17)
“Suasana semakin tak
terkendali.Adu mulut segera berubah adu otot.Orang yang berbadan tegap itu
mencengkeram kerah baju orang disampingnya sambil berteriak dengan murka dan
memuncak.” (Halaman 141)
·
Menyedihkan atau bersedih hati
“Maryam tersedu. Sambil
menangis ia bergegas masuk ke bilik kamarnya. Zulkarnain menduga, Maryam akan
menghabiskan tangisnya diranjang tua milik mereka.” (Halaman 18)
“Ayah angkat Maghfira
digandeng kerabatnya. Matanya tidak sedikitpun dipalingkan dari pusara barang
sekejab.Payah kelihatan wajahnya menahan duka.Sampai prosesi pemakaman selesai,
belum juga lepas rasa pememilikan atas Maghfira.” (Halaman 143)
·
Bahagia
“Zulkarnain
berbunga-bunga mendengar pengakuan Maryam.Matanya berbinar bahagia menyambut
karunia di pagi itu.Dilepaskannya gelas dan singkong rebus yang tengah
dinikmatinya.” (Halaman 23)
“Qori juga bahagia
menerima tawaran mengajar. Tawaran itu menyelamatkan air mukanya dari
menganggur selepas lulus tanpa harus bersusah payah mencari sekolah sana-sini.”
(Halaman 39)
·
Memalukan dan menyedihkan
“Bagaimana tidak, sebab
tindakan kepala sekolah yang demikian itu telah melukai hati dan mempermalukan
harga dirinya di muka kelas.Apalagi sesampainya dirumah, taka da nasi untuk
mengganjal perutnya yang lapar.Bertambahlah kepedihan Qori lahir bathin.”
(Halaman 37)
·
Kecewa
“Ini merupakan
kekecewaan kedua setelah cita-citanya mondok di juga tidak dapat
diwujudkan.Dengan tetap ingin menjadi guru, Qori memilih masuk Madrasah Aliyah
disebuah pondok pesantren.Cita-citanya menjadi guru agama dimatangkan di
pesantren itu.” (Halaman 38)
“Rasa hampa di dadanya
itu muncul setelah tadi ia menerima dan membuka amplop gaji pertamanya. Tungkai
Qori serasa lepas, ia seolah tidak percaya. Ia hanya menemukan tiga lembar uang
sepuluh ribuan dan selembar lima ribuan.” (Halaman 44)
“Sejujurnya ia merasa
sakit dengan hinaaan dan celaan atas kemiskinannya. Bila mengingat itu semua,
luka hati Zulkarnain seperti tidak
pernah kering. Dan Qori seperti membuat luka basah itu berdarah lagi.” (Halaman
51)
“Sejujurnya Qori hanya
menuruti emosi soal gaji Sesungguhnya ia kecewa atas ketimpangan kesejahteraan
yang menganga lebar.Bagaimana mungkin kemuliaan menjadi pendidik dihargai
sangat murah jauh dbawah gaji seorang buruh pabrik.” (Halaman 53)
·
Pasrah
“Ya Allah hamba sudah
tidak kuat” Terdengar Bunda Hanum bergumam lemah.Matanya sayu menatap dokter
yang tengah berjuang menolongnya. (Halaman 107 sampai 108)
·
Panik
“Beberpa saat Lastri
tepana.Ia tidak mengerti apa yang tengah terjadi dan harus berbuat apa. Akhirnya
jeritan meminta tolong melengking juga dari mulutnya.Jeritan itu didengar orang
dari dalam rumah yang dipagari perdu.” (Halaman 134)
“Suasana seketika
menjadi cemas dengan kata-kata kesetrum.Apalagi, salah seorang guru tengah
bercerita soal tetangga rumahnya yang dirawat di rumah sakit karena sengatan
listrik.’ (halaman 135)
·
Tidak karuan
“Suasana menjadi campur
aduk, tidak karuan antara kesedihan, ketakutan dan kemarahan yang meluap-luap.
Beberapa orang yang berada disekitar jenazah berhamburan keluar mencari tahu
apa yang terjadi. Dua orang bersitegang sama-sama panas.Seseorang bersrikeras
agar oelaku yang meletakkan kabel itu diusut.Kalau perlu dilanjutkan sampai
kepolisisan.Seorang lagi meoloak keras tidak perlu.” (Halaman 140)
·
Kebanggaan dan kebahagiaan
“Qori tidak menyangka,
honor gajinya yang hanya Rp35.000 sebulan dan pengalamannya mengajar yang
ditulisnya menjadi tiket untuk melanjutkan studi sampai ia meraih gelar sarjana
kelak.” (Halaman 217)
6. Alur
Dalam novel ini
menggunakan alur campuran
·
Alur maju
“Hari-hari berikutnya
Maryam sibuk merawat Nyai hingga menjelang wafatnya.” (Halaman 20)
·
Alur mundur
“Ada pula sesuatu yang
aneh saat Qori membongkar pengalaman belajarnya dulu.Saat seorang teman SD-nya
berulang kali tidak naik kelas.Dimana salahnya?” (Halaman 68)
7. Sudut Pandang
Sudut pandang yang
digunakan pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga serba
tahu dan sudut pandang orang pertama.
·
Sudut pandang orang ketiga
“Nasib karir mengajar
Zulkarnain kian jatuh. Dengan besaran honor yang tidak seberapa, ia harus pula
tidak dibayar.” (Halaman 11)
·
Sudut pandang orang pertama
“Maafkan saya, Bah.Biar
Eneng saja yang merawat Nyai.Dia lebih pandai melayani daripada saya.Saya sudah
terlanjur tidak diberi tempat. Dengan saya pergi, hati saya tentu tidak akan
bertambah dendam pada Eneng. Juga tidak perlu Eneng mencari-cari cara bagaimana
menjatuhkan saya di mata Nyai. Saya mohon pamit bah.”Mata Maryam berkaca-kaca,
memberikan jawaban pada sosok mertua yang dipanggilnya Abah. (Halaman 17)
8. Gaya Bahasa
·
Personifikasi
“Jika
tali plastic itu ditarik-tarik, orang-orangan bergerak hidup dan mengeluarkan
bunyi berisik.” (Halaman 8)
“Bulan
penuh leluasa mengintip dari muka jendela yang menganga.” (Halaman 57)
“Tetapi
surat itu telah menghempaskan harapannya menjauh.” (Halaman 220)
·
Metafora
“Cahayanya yang putih
lembut menembus bagai tirai yang dibentangkan.” (Halaman 57)
“Warnanya yang putih
bagai kapas amat mempesona.” (Halaman 129)
·
Simile
“Selokan jernih yang
mengelilingi tepi batas daratan bagai cincin melingkar yang mengikat jari amat
serasi.” (Halaman 6)
“Kaki jangkungnya kurus
seperti batang-batang bambu Cina.” (Halaman 129)
“Geraknya yang lincah
seperti penari Bali yang energik dengan kipas ditangannya.” (Halaman 129)
“Perasaannya bagai
dihempas suratan nasib bahagia yang tidak ingin beranjak padanya.” (Halaman
220)
·
Hiperbola
“Bau harum daging bakar
yang mengundang liur menyeruak ditengah sawah, disantap perut-perut yang
keroncongan.” (Halaman 10)
“Jika angin bertiup
kencang, rumpun bambu berderak-derak.Suaranya bagai gemuruh kepanikan yang
menciutkan nyali.” (Halaman 12)
“Amukan mereka seperti
petir bersahutan menyambar-nyambar dengan kilatnya yang menyilaukan.” (Halaman
39 sampai 40)
9. Amanat
Untuk menolong orang
lain tidak perlu mengharapkan imbalan yang besar. Cukup dengan memberi manfaat
kepada orang lain. Melakukan sesuatu juga harus dengan ridho Tuhan dan orang
tua. Agar yang kita lakukan dapat bermanfaat bagai orang-orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar